Ilustrasi foto Depati Amir (Foto: Ist)

JAKARTA, iNews.id - Depati Amir berperan dalam perang mengusir Belanda di Pulau Bangka. Namun tak banyak dokumen sejarah yang menceritakan sosoknya.

Depati Amir disebut sebagai keluarga bajak laut. Sang ayah, Depati Barin atau Bahrain bin Depati Karim dekat dengan Panglima Rahman, pemimpin bajak laut yang sangat tersohor kala itu.

Panglima Rahman dikenal karena keberaniannya yang berusaha mengusir angkatan perang Kesultanan Palembang dan Belanda. Keluarga Depati Amir banyak mendapatkan didikan perang dari Panglima Rahman.

Perlawanan Panglima Rahman terjadi saat peralihan kekuasaan dari Kesultanan Palembang ke Inggris (1812-1816) dan dari Inggris ke Belanda. Depati Barin yang kemudian meneruskan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda.

Depati Barin dikenal sebagai gerilyawan ulung yang membuat serdadu Belanda kocar kacir, dalam upaya menangkapnya di hutan dan lautan. 

Dia juga tidak segan memenggal kepala residen di Bangka, MAP Smissaert. Tindakannya yang berani dan pantang menyerah membuatnya sangat ditakuti. Di laut, Depati Barin bersama dengan bajak laut melakukan perampokan-perampokan terhadap kapal Belanda bermuatan timah, garam dan rempah. 

Ketika Belanda berhasil menjinakkan Depati Barin melalui perdamaian dan pemberian hak istimewa, perlawanan justru dilanjutkan oleh anaknya, Depati Amir.

Yang membuat Belanda sangat kewalahan menghadapi Depati Amir adalah bentuk perlawanannya yang lebih modern dari sang ayah. Dia tidak hanya mengandalkan senjata dan rampok-rampokan. Lebih dari itu, dia mengorganisir warga untuk melawan Belanda.

Belanda sangat takut dengan pengorganisiran yang dilakukan Depati Amir, karena sifatnya yang secara terbuka anti-kolonialisme. Hal ini membuat Belanda meminta bantuan militer dari Palembang dan Batavia, pada 1850. 

Gerakan protes dan perjuangan Depati Amir sangat kuat, karena dia berhasil menggabungkan dua kelompok etnik yang berbeda. Dia tidak hanya memobilisasi warga Melayu, tetapi juga golongan Tionghoa yang menjadi kuli parit tambang. Perlawanan Depati Amir terhadap Belanda berlangsung dalam rentang 1830-1851. 

Dalam melakukan perlawanan, Depati Amir dibantu adiknya Cing atau Hamzah sebagai panglima perang, serta sejumlah kerabatnya.

Pusat perlawanannya berada di Kampung Tjengal. Upaya pengorganisiran Depati Amir berhasil mendapatkan simpati dari sejumlah demang dan batin, sehingga perlawanan berlangsung sengit di sepanjang pantai timur Bangka.

Mulai dari Terentang, Ampang, Toboali, Jebus, dan Sungailiat, semua bangkit berjuang bersama dengan Depati Amir.

Dia juga mendapatkan dukungan dari sejumlah komunitas Tionghoa, mulai dari Kepala Parit, seperti Parit Kampung Air Duren, Parit Serut, Parit Singli Bawah dan seorang Letnan Tionghoa di Merawang, hingga Tionghoa Muslim.

Dengan bantuan kelompok Tionghoa ini, Depati Amir mendapatkan pasokan senjata dari Singapura. 

Bantuan senjata juga datang dari para lanun yang diperolah dari Mindanao, Lingga dan Palembang. Perlawanan yang dikobarkan Depati Amir menjadi sangat hebat.

Maka menjadi wajar jika Belanda kewalahan dan meminta bantuan militer dari Palembang dan Batavia. Perang dengan Belanda pun akhirnya berkecamuk dan meluas.

Pertempuran hebat terjadi pada Desember 1848, di beberapa tempat seperti Lukok, Cepurak, Mendara, Memadai, Ampang dan Tadjaubelah, saat Depati Amir memimpin langsung perlawanan. 

Dalam bertempur, Depati Amir banyak belajar dari ayahnya. Dia menerapkan taktik perang gerilya yang amat menyulitkan pihak militer Belanda. Ditambah lagi pasukan pemerintah Hindia-Belanda mendapat serangan penyakit Demam Bangka.

Hal yang kurang diperhatikan Depati Amir adalah pengkhianatan. Belanda yang tidak punya malu menerapkan taktik kotor ini dengan memberikan uang ganjaran 1.000 dollar Spanyol kepada tujuh orang pimpinan dan 36 anggota barisannya.

Di tengah perang gerilya, kondisi fisik Depati Amir mulai menurun. Dia mulai terserang sakit. Di tengah kondisi kurang logistik dan kelelahan fisik itulah, pada 7 Januari 1851, Depati Amir tertangkap di Distrik Sungaiselan. 

Depati Amir beserta keluarga dan pengikutnya lalu diasingkan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 28 Februari 1851. Dia meninggal pada 28 September 1869 dan dimakamkan di pemakaman muslim Batukadera, Kupang.


Editor : Reza Yunanto

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network